Label

Sabtu, 19 Juni 2010

Cinta Jempol Kaki

kau bagaikan jempol kakiku yang kupandangi dalam posisi lurus berbaring
dengan kepala sedikit miring dalam malam suasana hening
kupelototi, lalu setengah mati kucoba menggapai
tapi tanganku tak kunjung mencapai
padahal jaraknya dua meter pun tak sampai

Masakan Ibunda

terbangun tidur kelelahan
tanah berbau samar, di luar hujan
lamun membawa tanah seberang
teringat sup ibunda tersayang
gejolak rasa lapar
inginkan mencari makan ke luar
setelah lelah berputar-putar
semuanya sama, makanan di sini hambar

*mom, thanks for sending me some meals..

Raja

Maaf kawan, masamu telah berlalu
Sekarang ini adalah milikku
Jadi, mengapa kau masih merasa hukummu berlaku?
Ingat, kau telah tua dan berlalu seiring waktu
Berhenti bertingkah seperti bayi
Ini hukum alam, ini seleksi
Pergi dalam diam, kau sudah dieliminasi
Sekarang akulah yang memegang kendali
Aku penguasa, raja pemilik tahta
Kata-kataku yang mengatur segala
Turuti dalam diam dan jangan jadi hama
Hahahahaha..

Panas II

Dihakimi, tak bisa membela?
Dituding, tanpa pembelaan atau keberatan..
Dibungkam, diberangus, terdiam..
Kunci rapat semua indera..
Mati rasa, tenggelamkan, mati sebenarnya..

Marah?
Tidak bisa..
1 orang waras menghadapi 999 orang gila..
Siapa yang gila?
Itu orang di kamar tetangga dan komplotannya..

Mendendam tak bisa balas..
Ingin menikam, hati ini masih panas..
Jadi, mau bagaimana lagi?
Diam saja, tunggu dia mendapat karma..

Hidup

Orang dewasa penuh dengan tuntutan bukan?
Coba lihat dahulu, saat kita baru lepas dari buaian
Masa kecil berbahagia penuh tawa senyuman
Kehidupan belumlah jadi beban
Tak peduli nanti jadi apa masa depan
Semuanya sederhana dan instan
Bermain hingga lelah dan bosan
Mengantuk, tinggal tidur di dipan
Makan jika kelaparan, minum jika kehausan
Hidup masih penuh impian
Cita-cita masih setinggi awan
Selalu berkhayal terbang hingga ke bulan

Dan saat kita dewasa
Semua menguap begitu saja
Mata terbuka akan realita
Terbangun serasa ditampar di muka
Sadar, tugas menumpuk setinggi Himalaya
Tanggung jawab yang harus dipenuhi sebelum tutup usia
Maka mulailah kita terburu-buru, seakan esok akhir dunia
Kehilangan pegangan, impian menguap dan terlupa
Acak mencari jalan, membabi buta
Hidup tak lagi nikmat dan bahagia
Dunia serasa bencana, hampa
Dan setelah hidup berlanjut ke alam baka,
apa yang kita punya?
Tiada
Bahkan tak ada yang ingat walau sekedar nama

Senyummu

Tersayat di dada, berdarah merah terang..
Tajam senyummu manis bukan kepalang..
Kepala hilang, jantung meregang, aku melayang..
sadar jatuh terhempas ke dasar jurang..

Tolong bagi sedikit senyum manismu..
Nanti kusimpan dalam saku..
Dalam dompet, ataupun dinding kamarku..
Atau mau kugantung di leher?
Biar selalu dekat hatiku?

Malam

Mau apa ini malam?
Merindu bulan sampai pagi?
Bukan, lebih nikmat mengagumi kelam
daripada tidur, lantas bermimpi..
Esok terjaga, pergi bekerja..
Pulang senja, letih, hilang tenaga..
Lebih nikmat mengagumi kelam..
Langitnya memang hitam..
Tapi ada bintang, hitung, sinarnya beribu tahun cahaya..
Terbang ke sana, berandai-andai saja..
Ingat segarnya malam disiram hujan?
Padukan dengan kopi panas dan mi instan..
Sungguh nyaman, sayangnya tanpa bintang..
Bermasalah ini namanya bukan?
Saat semua yang awalnya di sisi kanan..
Berubah haluan, menempatkan diri untuk melawan..
Mengapa diamku lebih kau inginkan?
Bukankah aku dikenal sebagai lawakan?
Selalu ceria, berenergi dan tak letih?
Aku risih, bukannya hatiku sedih..
ataupun kehilangan dan perih..
Biasa saja, tak perlulah mengemis..
Hanya karena itu jadi berlinang tangis..
Hanya saja hatiku luka..
Saat kurasa kalian bosan adanya..
Apa lelucon ini terlalu basi?
Tak perlu diapresiasi?
Hingga kalian kehilangan reaksi?

Pikir Lagi

Sudah..
Kau ingin menyerah kalah lelah..
Inginkan mati berdarah-darah..
Harapkan itu 'kan lebih indah..

Tapi..
Hidup bukan hanya soal datang dan pergi..
Jangan terlalu serakah dengan mimpi..
Tahu waktu berhenti, mati setelah berarti..

Galau

Bukankah akan lebih bagus semua kebohongan ini diakhiri?
Mimpi berantakan ini habisi dan isi lagi..
Terbangun, merutuki sial tak bertepi..
Ketika kau rasa ini percuma..
Bukan galau namanya jika masih bisa tertawa..
Inginku bukan berbagi tawa, tapi jiwa..
Saat hampa itu nyata menenggelamkan, kau sadar aku butuh tangan dari luar sana..
Tarik, bukan dorong, sentakkan, hingga terpental semua luka bernanah menganga..
Agar kita bisa tertawa, menertawakan dunia dan kefanaannya, hingga kita tangis berdua..
Ketika ingat, bahwa kesombongan masih kalah oleh dunia nyata..
Tapi segera lupa, nyatakan lagi impian tak ada..

Hajar..

Entri puisi lama, sudah lama ada di harddiskk, tapi sering terlupa diunggah.
Semoga bisa dinikmati.
Hajaaaaaarrr..