Label

Senin, 26 Desember 2011

Gaul vs Alay

Tergelitik juga saya untuk membahas hal ini. Mengapa tidak, alay sudah menjadi fenomena budaya tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Mengenai asal-muasal istilah ini tidak perlu dibahas lagi. Saya rasa banyak orang cukup mengerti. Tetapi ada hal yang menarik perhatian saya. Yaitu adanya kecenderungan persamaan sifat antara anak-anak (yang dikategorikan) alay dengan anak-anak (yang merasa) gaul.
Persamaan ini bisa kita tinjau dari berbagai hal. Adapun beberapa hal yang telah saya temui yaitu:
1. Gaya, baik itu dalam hal berpakaian maupun lainnya
Sama saja, anak alay ada yang mengecat rambut, anak gaul juga. Anak alay senang pakai celana skinny, anak gaul juga. Anak alay senang nongkrong di pinggir jalan, anak gaul juga di pinggir jalan, cuma ada tokonya, misalnya sevel, circle k. Anak alay pake kacamata segede pantat botol susu kental manis, anak gaul juga. Masih banyak hal lainnya, tapi tidak usah diperpanjang, cari sendiri saja.

2. Bahasa yang menayalahi kaidah
Anak alay senang menyingkat Bahasa Indonesia misalnya "leh nal ga?" Nah, kalau anak gaul? Sama saja, cuma bahasanya Bahasa Inggris, misal ROTFL, LOL, dan lainnya. Kalau anak gaul bilang anak alay merusak tata Bahasa Indonesia, sama saja, anak gaul juga. Contohnya saja menggunakan Bahasa Inggris dicampur Bahasa Indonesia, padahal Bahasa Inggris yang dia pakai tersebut sudah ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Misalnya anak gaul bilang, "at least, gue ga kayak dia", padahal kan bisa saja bilang, "setidaknya gue ga kayak dia lah".

3. Musik
Anak alay selera musiknya rendahan, mungkin. Tapi anak gaul sama saja. Teriak dangdut musik alay, tapi sama-sama dengar Ayu Tingting. Bilang musik alay, tapi masih nonton SM*SH. Ah, anak gaul lebih munafik untuk urusan ini. Lebih keren anak alay, sportif mengaku kalau dia alay.

Kalau tadi persamaannya, lantas perbedaannya apa?
Ada perbedaannya. SDM misalnya. Anak gaul biasanya berasal dari keluarga berada dan tinggal di kota besar sehingga mampu beli pakaian bagus, nongkrong di sevel, baca majalah fashion, punya akses internet dan pendidikan lebih maju. Sementara anak alay? Kebalikan semua itu. Mereka sebenarnya korban tuntutan jaman. Saat dalam masa pencarian identitas diri di masa remaja, mereka bingung mencari contoh ke mana. Akhirnya dijiplaklah gaya yang ada di TV. Namun, dengan keterbatasan modal, mereka tentu tidak bisa sebagus anak gaul yang punya duit banyak. Akhirnya cuma nongkrong di jalan, gaya meniru bintang di TV tapi dengan modal seadanya. Kalau saja mereka lebih beruntung, tentu mereka tidak akan berbeda dengan anak gaul. Yah, mereka cuma anak kampung yang ingin merasa keren. Siapa yang tidak ingin keren? Apalagi dengan bombardir iklan yang mengajarkan rupa adalah segalanya. Bukan tidak mungkin mereka yang hanya mengenyam pendidikan pas-pasan jadi tergiur. Namun, ujung-ujungnya bukan masuk TV, malah jadi cercaan di forum paling besar sejagad Indonesia.
Terus solusinya apa? Mungkin bisa kita mulai dengan tidak mendiskriminasi mereka, ajari mereka apa yang selayaknya. Bilang, rupa bukan segalanya. Yah, SDM memang berbeda, jadi mungkin agak susah. Tetapi tidak ada salahnya dicoba. Atau kalau tidak mau susah, ya sudah, diamkan saja. Toh, dia tidak mengganggu kita kan.

OK, maaf kalau ada pihak-pihak yang tersinggung. Ini cuma telaahan sekejap yang saya tulis kurang dari setengah jam. Saya sendiri merasa tulisan ini terlalu dangkal, tetapi tetap tertarik untuk menulisnya. Nanti kalau ada waktu untuk berpikir lebih lanjut, tulisan ini saya telaah lebih jauh.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mengambil quote dari eminem

"if you don't want to fu*k me, why would you care about how i look"

sekarang kbanyakan anak2 muda sekarang lebih suka pencitraan dari penampilan.

sedih ya, generasi muda sekarang banyak yg retarded

Gilang Hastanto mengatakan...

iya
bombardir media juga sih
semacam cuci otak massal
dan hal lain yang juga mendorong saya menulis ini adalah seringnya anak gaul merendahkan anak alay
ini masih dangkal
belum masuk lebih dalam
ntar deh, dikaji lagi kalau sempat